Bangkitnya Difteri dari 'Kubur'
Grup WhatsApp beranggotakan segelintir ibu-ibu muda itu mendadak riuh. Penyebabnya, foto-foto balita dengan langit mulut berwarna putih memenuhi layar ponsel mereka. Si balita disebut terkena difteri. Penyakit yang bagi sebagian besar masyarakat Indonesia terdengar masih asing.
Kini difteri dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Para ibu-ibu muda cemas bukan kepalang. Pasalnya, difteri tercatat sebagai penyakit menular dan mematikan.
"Ngeri ya bun, saya jadi takut," kata salah seorang ibu menanggapi broadcast message yang beredar di grup-grup WhatsApp.
Hingga 6 Desember 2017, Kementerian Kesehatan mencatat ada 20 provinsi yang melaporkan kasus difteri. Namun, dari 20 provinsi itu bukan satu provinsi semuanya terkena difteri, tapi ada beberapa kabupaten/kota yang melaporkan KLB. Kemudian di sebagian Kabupaten/kota tersebut KLB sudah tertangani dengan baik.
“KLB sebenarnya warning bukan wabah, artinya setelah menemukan ini (kasus difteri) harus melakukan tindakan pencegahan dengan imunisasi melalui ORI (Outbreak Response Immunization),'' kata Menteri Kesehatan Nila Moeloek di Kediamannya di Jakarta Selatan, Minggu, 10 Desember 2017. Baca juga: Serba-serbi Difteri
Sorot Difteri - imunisasi - vaksin DPT Difteri Tetanus Pertusis
Petugas kesehatan bersiap menyuntikkan vaksin DPT (Difteri, Pertusis dan Tetanus) di Posyandu Bungong Jaroe, Kampung Mulia, Banda Aceh. (ANTARA FOTO/Ampelsa)
Aceh termasuk salah satu provinsi yang melaporkan terjadinya KLB difteri di wilayah kabupaten/kota-nya. Begitu viralnya soal ancaman penyakit difteri membuat para ibu di sana berbondong-bondong membawa anak mereka ke Posyandu. Tujuannya, untuk mendapatkan imunisasi difteri.
Antre berjam-jam di Posyandu Bungong Jaroe, Kampung Mulia, sembari menggendong bayi menjadi pemandangan rutin dalam beberapa hari belakangan. Halimah, warga Kampung Mulia, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, termasuk salah satu yang memboyong dua balitanya.
Awalnya, Halimah sama sekali tak mengetahui apa dampak virus difteri bagi penderitanya. Namun, ketika media memberitakan tentang bahaya difteri, ia langsung mengunjungi Posyandu terdekat.
Ia mengaku, dua balitanya selama ini belum mendapat imunisasi sekalipun. “Kita was-was juga. Apalagi penyakit ini bisa membuat meninggal,” sebutnya. Baca juga: Wabah Dunia dan Gerakan Antivaksin
Berbeda dengan di Aceh, suasana Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr Sulianti Saroso, Jakarta, terasa mencekam. Ada sekitar 30 pasien dirawat di rumah sakit tersebut karena suspect difteri. Rata-rata, pasiennya adalah anak-anak.
Saat VIVA tiba di RSPI Sulianti Saroso, mulai dari satpam, tenaga kesehatan, hingga sejumlah pengunjung terlihat menutupi bagian mulut dan hidungnya dengan masker hijau.
Ya, memakai masker, dan mencuci tangan adalah anjuran khusus ketika mengunjungi rumah sakit yang berada di kawasan Sunter, Jakarta Utara ini.
Saat mengunjungi rumah sakit tersebut, VIVA dibawa ke lantai dua, Ruang Mawar. Ruangan ini adalah ruangan khusus, atau ruang isolasi bagi pasien difteri. Setelah melewati pintu Ruang Mawar 2, ada sekitar lima kamar pasien, yang setiap kamarnya hanya diisi oleh satu pasien, dan satu pendamping.
Tidak sembarangan orang bisa masuk. Setiap pasien hanya boleh ditemani oleh satu pendamping. Itu pun tidak boleh berganti, untuk mengurangi risiko penularan.
Di samping kamar pasien, juga ada sebuah ruang, yang bertuliskan 'ruang khusus petugas' yang terhubung ke kamar pasien.
Ruangan ini digunakan saat dokter dan tenaga kesehatan masuk dan memeriksa pasien. Dokter dan tenaga kesehatan yang masuk pun harus mengenakan pakaian atau alat pelindung diri.
Sama halnya dengan RSPI Sulianti Saroso, Pemerintah Kabupaten Tangerang, Banten diselimuti kekhawatiran. Mereka mulai kewalahan menangani pasien penyakit difteri. Jumlah penderita semakin bertambah, sementara fasilitas ruang isolasi terbatas.
Menurut Staf Humas Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tangerang, Lilik Kholida, ruang isolasi yang tersedia di rumah sakit ini cuma mampu menampung 11 pasien saja. Sedangkan jumlah pasien penderita difteri terus bertambah. Dalam dua bulan terakhir tercatat sudah ada 30 kasus difteri.
Dikira disentri
Sejak Januari hingga Desember 2017 ini, korban difteri memang makin bertambah. Sepanjang 2017, data dari Kementerian Kesehatan RI mencatat, ada 38 kematian dan 633 kasus difteri di Indonesia. Setelah 10 dekade penyakit ini menjauh, baru-baru ini, mendadak muncul. Di sejumlah daerah, statusnya dinyatakan sebagai KLB.
Kasus difteri tertinggi terjadi di Jawa Timur, Jawa Barat juga Aceh. Di Jawa Timur, dalam setahun ada 318 kasus di mana 12 orang di antaranya meninggal dunia. Sedangkan Jawa Barat terutama Banten, telah mencapai 63 kasus dan 9 kematian. Serta, di Jawa Barat, hingga Desember telah tercatat 132 kasus dan 13 kematian akibat difteri.
Penyakit yang disebabkan oleh penularan bakteri Corynebacterium Diphtheriae ini memiliki gejala nyaris sama dengan flu. Awalnya pilek dan demam biasa. Namun yang membedakan, tiba-tiba ada bengkak di tenggorokan. Setelah dicek ada selaput lendir di selaput saluran pernapasan. Jika dicongkel sedikit dengan cotton bud akan berdarah. Ada juga gejala, langit-langit mulut terlihat bercak putih.
"Di awal agak sulit kelihatan. Kecuali, kalau kita lihat langsung selaput putih di tenggorokan atau saluran pernapasannya, kalau ada selaput putih nah itu kemungkinan besar difterinya,” kata Ketua I Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sekaligus Penggagas Rumah Vaksin Indonesia, Dr.Piprim B Yunarso Spa(K), saat ditemui VIVA di RSCM.
Dijelaskan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI dr Elizabeth Jane Soepardi, difteri kembali muncul di Indonesia karena banyak hal.
Dahulu sebelum ada imunisasi difteri, vaksin untuk bayi baru dimulai tahun 1977. Ini, karena kasus difteri di Indonesia endemis sehingga generasi tua umumnya mulai tahu dan sadar, difteri berbahaya dan bisa sebabkan kematian. Dan saat itu pula, publik tahu, difteri bisa dicegah dengan imunisasi.
Sorot Difteri - imunisasi - vaksin DPT Difteri Tetanus Pertusis
Petugas Suku Dinas Kesehatan (Sudinkes) Jakarta Barat menyuntikkan vaksin DPT (Difteri, Tetanus, dan Pertusis) ke mahasiswa Universitas Tarumanegara (UNTAR) di Jakarta. (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)
Seiring berjalannya waktu, tahun 1999 cakupan imunisasi tinggi di atas 80 persen. Kasus difteri menurun. Pada tahun 2005, kasus difteri bahkan cuma 28 kasus se-Indonesia.
"Para orangtua dan kita sudah mulai jarang lihat difteri. Mahasiswa kedokteran pun jadi susah belajar mengenai difteri karena enggak ada kasus. Akhirnya orang lupa bahwa difteri menular dan bisa mematikan tapi bisa dicegah pakai imunisasi," kata dr Elizabeth.
Sama halnya dengan dr Elizabeth, dr Piprim pun mengatakan, sebenarnya difteri sudah lama ada dan terkendali. Dan dengan adanya temuan vaksinasi, sebenarnya penyakit difteri ini sangat jauh menurun dibanding sebelum ditemukannya vaksin.
"Indonesia termasuk negara yang berhasil menurunkan penyakit difteri ini ke titik yang sangat terendah jika dibandingkan dengan sebelum ditemukannya vaksin. Kejadian penyakit ini terus mengalami penurunan,” ujar dr Piprim.
Difteri juga sudah lama menjadi program vaksinasi yang digratiskan oleh pemerintah melalui Puskesmas, Posyandu, hingga ke sekolah-sekolah. Namun, ketika vaksin cakupannya sudah meningkat dan penyakit difteri menurun, orang jadi tidak takut lagi dengan difteri.
"Penyakit apa ini? Bahkan ada yang mengira difteri ini sebagai penyakit disentri. Padahal berbeda antara difteri dan disentri."
Kehidupan serba modern juga disinyalir menjadi salah satu penyebab difteri kembali menyeruak. Dengan banyaknya ragam vaksin, orangtua terkadang lupa apakah anak mereka sudah mendapatkan imunisasi atau belum.
"Banyak ibu rumah tangga kerja. Jadi imunisasi anak sudah enggak diurusi lagi dan diserahkan ke pengasuh. Mulai bolong dan enggak rutin imunisasi. Tahun demi tahun bertumpuk anak tidak diimunisasi."
Perlu diketahui, kuman difteri sangat mudah berkembang di tubuh manusia. Saat imunisasi tinggi, maka jumlah kumannya semakin berkurang. Tapi saat imunisasi rendah, maka kumannya dengan mudah berkembang biak menjadi makin banyak.
"Apalagi sekarang bayi banyak bepergian dan bebas diberi makan apa saja. Ditambah tidak ada imunisasi jadi gampang tertular."
Kini difteri dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Para ibu-ibu muda cemas bukan kepalang. Pasalnya, difteri tercatat sebagai penyakit menular dan mematikan.
"Ngeri ya bun, saya jadi takut," kata salah seorang ibu menanggapi broadcast message yang beredar di grup-grup WhatsApp.
Hingga 6 Desember 2017, Kementerian Kesehatan mencatat ada 20 provinsi yang melaporkan kasus difteri. Namun, dari 20 provinsi itu bukan satu provinsi semuanya terkena difteri, tapi ada beberapa kabupaten/kota yang melaporkan KLB. Kemudian di sebagian Kabupaten/kota tersebut KLB sudah tertangani dengan baik.
“KLB sebenarnya warning bukan wabah, artinya setelah menemukan ini (kasus difteri) harus melakukan tindakan pencegahan dengan imunisasi melalui ORI (Outbreak Response Immunization),'' kata Menteri Kesehatan Nila Moeloek di Kediamannya di Jakarta Selatan, Minggu, 10 Desember 2017. Baca juga: Serba-serbi Difteri
Sorot Difteri - imunisasi - vaksin DPT Difteri Tetanus Pertusis
Petugas kesehatan bersiap menyuntikkan vaksin DPT (Difteri, Pertusis dan Tetanus) di Posyandu Bungong Jaroe, Kampung Mulia, Banda Aceh. (ANTARA FOTO/Ampelsa)
Aceh termasuk salah satu provinsi yang melaporkan terjadinya KLB difteri di wilayah kabupaten/kota-nya. Begitu viralnya soal ancaman penyakit difteri membuat para ibu di sana berbondong-bondong membawa anak mereka ke Posyandu. Tujuannya, untuk mendapatkan imunisasi difteri.
Antre berjam-jam di Posyandu Bungong Jaroe, Kampung Mulia, sembari menggendong bayi menjadi pemandangan rutin dalam beberapa hari belakangan. Halimah, warga Kampung Mulia, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, termasuk salah satu yang memboyong dua balitanya.
Awalnya, Halimah sama sekali tak mengetahui apa dampak virus difteri bagi penderitanya. Namun, ketika media memberitakan tentang bahaya difteri, ia langsung mengunjungi Posyandu terdekat.
Ia mengaku, dua balitanya selama ini belum mendapat imunisasi sekalipun. “Kita was-was juga. Apalagi penyakit ini bisa membuat meninggal,” sebutnya. Baca juga: Wabah Dunia dan Gerakan Antivaksin
Berbeda dengan di Aceh, suasana Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr Sulianti Saroso, Jakarta, terasa mencekam. Ada sekitar 30 pasien dirawat di rumah sakit tersebut karena suspect difteri. Rata-rata, pasiennya adalah anak-anak.
Saat VIVA tiba di RSPI Sulianti Saroso, mulai dari satpam, tenaga kesehatan, hingga sejumlah pengunjung terlihat menutupi bagian mulut dan hidungnya dengan masker hijau.
Ya, memakai masker, dan mencuci tangan adalah anjuran khusus ketika mengunjungi rumah sakit yang berada di kawasan Sunter, Jakarta Utara ini.
Saat mengunjungi rumah sakit tersebut, VIVA dibawa ke lantai dua, Ruang Mawar. Ruangan ini adalah ruangan khusus, atau ruang isolasi bagi pasien difteri. Setelah melewati pintu Ruang Mawar 2, ada sekitar lima kamar pasien, yang setiap kamarnya hanya diisi oleh satu pasien, dan satu pendamping.
Tidak sembarangan orang bisa masuk. Setiap pasien hanya boleh ditemani oleh satu pendamping. Itu pun tidak boleh berganti, untuk mengurangi risiko penularan.
Di samping kamar pasien, juga ada sebuah ruang, yang bertuliskan 'ruang khusus petugas' yang terhubung ke kamar pasien.
Ruangan ini digunakan saat dokter dan tenaga kesehatan masuk dan memeriksa pasien. Dokter dan tenaga kesehatan yang masuk pun harus mengenakan pakaian atau alat pelindung diri.
Sama halnya dengan RSPI Sulianti Saroso, Pemerintah Kabupaten Tangerang, Banten diselimuti kekhawatiran. Mereka mulai kewalahan menangani pasien penyakit difteri. Jumlah penderita semakin bertambah, sementara fasilitas ruang isolasi terbatas.
Menurut Staf Humas Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tangerang, Lilik Kholida, ruang isolasi yang tersedia di rumah sakit ini cuma mampu menampung 11 pasien saja. Sedangkan jumlah pasien penderita difteri terus bertambah. Dalam dua bulan terakhir tercatat sudah ada 30 kasus difteri.
Dikira disentri
Sejak Januari hingga Desember 2017 ini, korban difteri memang makin bertambah. Sepanjang 2017, data dari Kementerian Kesehatan RI mencatat, ada 38 kematian dan 633 kasus difteri di Indonesia. Setelah 10 dekade penyakit ini menjauh, baru-baru ini, mendadak muncul. Di sejumlah daerah, statusnya dinyatakan sebagai KLB.
Kasus difteri tertinggi terjadi di Jawa Timur, Jawa Barat juga Aceh. Di Jawa Timur, dalam setahun ada 318 kasus di mana 12 orang di antaranya meninggal dunia. Sedangkan Jawa Barat terutama Banten, telah mencapai 63 kasus dan 9 kematian. Serta, di Jawa Barat, hingga Desember telah tercatat 132 kasus dan 13 kematian akibat difteri.
Penyakit yang disebabkan oleh penularan bakteri Corynebacterium Diphtheriae ini memiliki gejala nyaris sama dengan flu. Awalnya pilek dan demam biasa. Namun yang membedakan, tiba-tiba ada bengkak di tenggorokan. Setelah dicek ada selaput lendir di selaput saluran pernapasan. Jika dicongkel sedikit dengan cotton bud akan berdarah. Ada juga gejala, langit-langit mulut terlihat bercak putih.
"Di awal agak sulit kelihatan. Kecuali, kalau kita lihat langsung selaput putih di tenggorokan atau saluran pernapasannya, kalau ada selaput putih nah itu kemungkinan besar difterinya,” kata Ketua I Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sekaligus Penggagas Rumah Vaksin Indonesia, Dr.Piprim B Yunarso Spa(K), saat ditemui VIVA di RSCM.
Dijelaskan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI dr Elizabeth Jane Soepardi, difteri kembali muncul di Indonesia karena banyak hal.
Dahulu sebelum ada imunisasi difteri, vaksin untuk bayi baru dimulai tahun 1977. Ini, karena kasus difteri di Indonesia endemis sehingga generasi tua umumnya mulai tahu dan sadar, difteri berbahaya dan bisa sebabkan kematian. Dan saat itu pula, publik tahu, difteri bisa dicegah dengan imunisasi.
Sorot Difteri - imunisasi - vaksin DPT Difteri Tetanus Pertusis
Petugas Suku Dinas Kesehatan (Sudinkes) Jakarta Barat menyuntikkan vaksin DPT (Difteri, Tetanus, dan Pertusis) ke mahasiswa Universitas Tarumanegara (UNTAR) di Jakarta. (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)
Seiring berjalannya waktu, tahun 1999 cakupan imunisasi tinggi di atas 80 persen. Kasus difteri menurun. Pada tahun 2005, kasus difteri bahkan cuma 28 kasus se-Indonesia.
"Para orangtua dan kita sudah mulai jarang lihat difteri. Mahasiswa kedokteran pun jadi susah belajar mengenai difteri karena enggak ada kasus. Akhirnya orang lupa bahwa difteri menular dan bisa mematikan tapi bisa dicegah pakai imunisasi," kata dr Elizabeth.
Sama halnya dengan dr Elizabeth, dr Piprim pun mengatakan, sebenarnya difteri sudah lama ada dan terkendali. Dan dengan adanya temuan vaksinasi, sebenarnya penyakit difteri ini sangat jauh menurun dibanding sebelum ditemukannya vaksin.
"Indonesia termasuk negara yang berhasil menurunkan penyakit difteri ini ke titik yang sangat terendah jika dibandingkan dengan sebelum ditemukannya vaksin. Kejadian penyakit ini terus mengalami penurunan,” ujar dr Piprim.
Difteri juga sudah lama menjadi program vaksinasi yang digratiskan oleh pemerintah melalui Puskesmas, Posyandu, hingga ke sekolah-sekolah. Namun, ketika vaksin cakupannya sudah meningkat dan penyakit difteri menurun, orang jadi tidak takut lagi dengan difteri.
"Penyakit apa ini? Bahkan ada yang mengira difteri ini sebagai penyakit disentri. Padahal berbeda antara difteri dan disentri."
Kehidupan serba modern juga disinyalir menjadi salah satu penyebab difteri kembali menyeruak. Dengan banyaknya ragam vaksin, orangtua terkadang lupa apakah anak mereka sudah mendapatkan imunisasi atau belum.
"Banyak ibu rumah tangga kerja. Jadi imunisasi anak sudah enggak diurusi lagi dan diserahkan ke pengasuh. Mulai bolong dan enggak rutin imunisasi. Tahun demi tahun bertumpuk anak tidak diimunisasi."
Perlu diketahui, kuman difteri sangat mudah berkembang di tubuh manusia. Saat imunisasi tinggi, maka jumlah kumannya semakin berkurang. Tapi saat imunisasi rendah, maka kumannya dengan mudah berkembang biak menjadi makin banyak.
"Apalagi sekarang bayi banyak bepergian dan bebas diberi makan apa saja. Ditambah tidak ada imunisasi jadi gampang tertular."
Comments
Post a Comment